Human Resources

Proses Tiga Langkah untuk Memutus Siklus Frustrasi, Stres, dan Konflik di Tempat Kerja

Ketika kita memiliki konflik di tempat kerja, umumnya kita menyalahkan orang lain, seperti atasan yang tidak kompeten, rekan kerja yang berperilaku pasif-agresif, atau rekan penimbun barang di departemen lain. Namun, perselisihan yang lebih sedikit di tempat kerja dimulai dari diri sendiri dengan cara memutus siklus frustrasi, stres, dan konflik.

Ingatlah suatu konflik di tempat kerja. Anda mungkin langsung mendapatkan pelakunya, yakni atasan Anda yang tidak kompeten, rekan kerja yang berperilaku pasif-agresif, atau rekan penimbun barang di departemen lain. Kita menghabiskan banyak waktu dengan mengeluhkan orang-orang seperti ini, menghindari, dan melawan mereka. Namun, bila Anda ingin mengelola konflik di tempat kerja, Anda tidak dapat memulainya dengan orang lain. Biasanya, pelakunya tidak hanya ada satu. Bila Anda ingin perselisihan yang lebih sedikit dan tempat kerja yang lebih menyenangkan dan produktif, Anda perlu memahami peran diri Anda di dalamnya dan tindakan yang dapat dilakukan untuk memutus lingkaran tak berujung (vicious cycle) ini, yang dimulai dengan frustrasi dan stres, serta diakhiri dengan perselisihan di tempat kerja.

Tantangan yang datang terus-menerus akan membuat frustrasi. Sedikit rasa frustrasi mungkin baik karena mengarahkan kepada keteguhan hati dan kreativitas. Sayangnya, dibandingkan hambatan yang sesekali muncul di tempat kerja, kita lebih sering tenggelam dalam tumpukan masalah. Kita tidak memiliki sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan dan target pekerjaan terus meningkat. Kita menyalahkan sifat perusahaan yang sempit, yang didorong laporan kuartal, atau perubahan budaya perusahaan yang terus terjadi sehingga membuat frustrasi sebab kita harus melakukan sesuatu dengan sumber daya seadanya. Apa pun alasannya, kebanyakan kita terus-menerus merasa frustrasi di tempat kerja.

Emosi toksik yang penuh dengan perasaan stres. Frustrasi yang terus berlangsung terkadang berubah menjadi rasa takut dan marah, yakni “emosi destruktif” yang menjadi sistem peringatan awal bahwa kita berada dalam bahaya. Ketika alarm berbunyi, tubuh kita berada di tingkat kewaspadaan tinggi, adrenalin dan hormon mengalir di pembuluh darah kita, otot akan mengeras sehingga kita dapat berpindah lebih cepat, tangan akan mengeluarkan keringat, serta napas dan detak jantung yang meningkat. Keadaan ini seharusnya berlangsung tanpa masalah bila tidak sering terjadi dan menyelamatkan kita dari bahaya sebenarnya. Sayangnya, frustrasi, kecemasan, iritasi, bahkan rasa marah merupakan perasaan yang umum di tempat kerja. Umumnya kita terlalu waspada pada setiap waktu. Kita tidak tumbuh secara fisik, menarik diri, dan merasa tidak senang di tempat kerja, serta otak kita tidak bekerja dengan semestinya.

Stres mengundang konflik dan konflik menghasilkan rasa marah, dendam, dan perasaan tidak bahagia. Mudah untuk mengelabui diri sendiri dengan berpikir stres itu tidak selalu buruk. Faktanya, ketika kita berada di bawah tekanan, kita dapat berkinerja lebih baik dalam tugas yang rutin dan yang sudah terlatih melakukannya. Ketika kita berada di bawah stres yang kronis, kemampuan untuk berpikir dan bernalar, serta keahlian sosial kita semuanya terdampak. Kemampuan kita untuk memproses dan menggunakan informasi jadi terganggu, demikian juga kemampuan penilaian kita. Kita lebih sulit untuk lebih fleksibel atau terbuka dalam menerima ide baru. Kita juga mulai melihat sesuatu dengan cara sederhana. Kita bereaksi berlebihan terhadap persoalan kecil. Segala sesuatu dan setiap orang mulai terlihat seperti ancaman. Dalam keadaan ini, kita lebih mungkin menyebabkan masalah dibandingkan menyelesaikannya, khususnya dalam suatu hubungan.

Inilah keadaan yang membuat lingkaran tak berujung ini menjadi putaran tanpa akhir. Kita tidak berpikir jernih. Kita mulai menimbulkan masalah. Orang lain merasa tidak senang dan mereka menegur kita. Stres meningkat dan kemampuan bernalar dan berperilaku kita bahkan makin terdampak. Kita menyerang, bersembunyi, atau memilih untuk tidak berpartisipasi.

Proses Tiga Langkah untuk Memutus Lingkaran Tak Berujung 

Bila Anda ingin memutus lingkaran ini dan memiliki konflik destruktif lebih sedikit di tempat kerja, langkah pertamanya adalah lebih memahami perasaan dan reaksi Anda terhadap tekanan dan stres. Langkah kedua adalah mengelola emosi Anda secara sadar dan langkah ketiga adalah mulai melihat orang lain sebagai individu, bukan sebagai ancaman.

Langkah 1: Mengembangkan kesadaran diri. Untuk memutus lingkaran frustrasi-stres-konflik, Anda perlu memulai dengan mengenali hal yang membuat Anda merasa gagal, takut, atau terancam, serta hal yang mendorong Anda menuju konflik. Langkah ini terlihat mudah, tetapi bahkan orang yang bermaksud baik biasanya menempatkan refleksi diri di bagian akhir daftar sebab tidak ada waktu untuk melakukannya. Memberi tahu diri sendiri bahwa Anda tidak punya waktu atau tidak ingin “mengelola diri sendiri” akan membuat Anda terjebak dalam mentalitas pembelaan diri di tempat kerja. Sebaliknya, luangkan waktu dan puaskan rasa keingintahuan dan dorongan untuk melihat bentuk situasi (dan orang-orang) yang membantu Anda ke puncak. Dengan lebih memahami pemicunya, Anda dapat mengendalikan emosi dengan lebih baik.

Langkah 2: Gunakan kendali diri emosional. Setelah Anda memahami emosi yang mendorong perilaku Anda, dapat menggunakan kompetensi kecerdasan emosional lain yang penting, yakni kendali diri emosional. Hal ini membuat kita dapat memeriksa dan menyalurkan emosi kita sehingga kita tidak terjebak dalam kondisi pembajakan amygdala secara permanen. Kita dapat mengelola perasaan negatif, melihat realitas melalui lensa yang jelas, dan berhenti menarik diri ketika merasa terancam.

Langkah 3: Membangun pertemanan di tempat kerja. Untuk meminimalkan stres dan konflik di tempat kerja, kita perlu mengganti “saya, aku, sendiri” menjadi “kita, kami, bersama.” Kita perlu berhenti melihat orang lain berdasarkan hal yang kita dapatkan dan menggantinya dengan hal apa yang dapat kita berikan. Pergeseran ini akan menghasilkan stres yang berkurang dan emosi negatif yang lebih sedikit. Keadaan ini juga menghasilkan hubungan yang lebih hangat dan akrab, yang merupakan sesuatu yang kebanyakan orang butuhkan dan inginkan di tempat kerja.

Mengembangkan kesadaran diri, memperbaiki kendali emosional diri, dan membangun kembali hubungan di tempat kerja memerlukan komitmen, tetapi Anda tidak perlu mengubah diri untuk memperbaiki cara Anda menghadapi konflik. Berikut ini adalah kiat praktis untuk membantu Anda melakukan langkah di atas:

Membangun praktik kesadaran penuh (mindfulness) dalam kehidupan sehari-hari Anda. Praktik kesadaran penuh, seperti yoga, meditasi, napas mendalam, dan berjalan seorang diri merupakan praktik berharga untuk membangun kesadaran diri, belajar mengelola emosi diri, dan memutuskan respons stres. Penelitian mengenai hal ini makin meningkat. Dengan hanya bernapas mendalam secara perlahan selama beberapa menit dalam sehari, kita terbantu untuk mengosongkan pikiran, menenangkan diri, dan memilih tindakan kita dengan lebih saksama.

Luangkan waktu untuk refleksi mandiri. Seperti praktik kesadaran penuh, refleksi diri sangat membantu bersama kesadaran diri dan kendali diri. Namun, sulit meluangkan waktu untuk memikirkan sudut pandang dan tindakan kita dalam dunia yang terus-menerus berubah. Jadi, mulailah dengan langkah kecil. Misalnya Anda mungkin dapat mengalokasikan 20 menit di akhir tiap minggu untuk melakukan refleksi terhadap hal yang terjadi dengan baik dan sebaliknya. Namun, ingat, jangan jatuh ke lubang jebakan “siksaan diri sendiri” dan menghabiskan waktu meratapi hal yang tidak dapat Anda selesaikan atau hal yang seharusnya Anda lakukan dengan berbeda. Melakukan tindakan itu hanya akan menghasilkan stres berlebih.

Andalkan rasa empati alami dan welas asih Anda. Perhatian kepada orang lain, rasa empati, dan welas asih membantu kita bertahan dan tumbuh. Seperti refleksi diri, kekuatan ini mungkin bukan sesuatu yang Anda sering gunakan di tempat kerja. Namun, Anda akan cepat merasa lebih baik bila Anda menanyakan diri sendiri dengan hal yang membuat Anda memahami sudut pandang orang lain. Cobalah menjawab pertanyaan berikut.

  • Hal apa yang dia pikirkan dan rasakan mengenai situasi ini?
  • Mengapa dia berbeda dengan saya? Mengapa kita sama?
  • Apa yang dapat saya lakukan untuk membuat dia dan saya merasa lebih baik di situasi ini?

Selagi Anda menanyakan pertanyaan ini kepada diri sendiri, ingatlah kita semua memiliki cerita, yang di antaranya adalah kasih sayang, kesedihan, dan kebahagiaan dalam kehidupan dan di tempat kerja. Kemungkinan besar, cerita orang lain mungkin terlihat berbeda dari Anda, tetapi pengalaman kita sebagai manusia merupakan hal serupa. Meski kita ingin menyalahkan orang lain karena banyaknya konflik di perusahaan, cara terbaik untuk membuat tempat kerja menjadi pengalaman yang lebih menyenangkan dan produktif adalah mengandalkan rasa empati alami, belajar peduli kepada diri sendiri dan orang lain, dan bertanggung jawab terhadap perasaan dan tindakan kita.

Sumber: HBR (Annie McKee, 12 Juli 2017)

Gita Djambek

Diruanghati.com is a co-blogging between my daughter, Aya and myself. This is where we share our thoughts about each other's thoughts as well as our individual thoughts. We hope readers can be entertained as well as gaining insights from us.

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *