Bayangkan Anda tengah memegang ponsel milik perusahaan dan Anda mendapatkan surel dari LinkedIn. “Perusahaan ini mencari kandidat seperti Anda!” Anda mungkin tidak sedang mencari pekerjaan, tetapi Anda selalu terbuka terhadap peluang. Karena Anda hendak mengetahuinya, Anda mengeklik tautan di surel itu. Beberapa menit kemudian atasan Anda muncul di depan meja Anda. “Saya perhatikan akhir-akhir ini Anda menghabiskan banyak waktu di LinkedIn, jadi saya ingin berbicara mengenai karier Anda dan apakah Anda merasa senang berada di sini” ujar atasan Anda. Walah!

Situasi canggung ini terlihat seperti skenario Big Brother di mana penguasa memantau semua pergerakan orang-orang. Kepergian karyawan selalu menjadi sesuatu yang mahal bagi perusahaan. Namun di sejumlah industri, biaya kehilangan karyawan yang baik semakin meningkat disebabkan pasar tenaga kerja yang ketat dan sifat pekerjaan yang semakin kolaboratif. (Karena pekerjaan saat ini lebih berfokus terhadap tim, penambahan pemain baru ke dalamnya akan menjadi lebih sulit). Untuk itu, perusahaan mengintensifkan upaya mereka untuk memprediksi karyawan yang memiliki risiko tinggi untuk keluar dari pekerjaannya sehingga manajer dapat mencegah mereka. Taktik yang umum digunakan adalah berupa pengawasan elektronik hingga analisis aktivitas media sosial karyawan.

Sejumlah pekerjaan analitis ini menghasilkan pemahaman baru terhadap hal pendorong karyawan untuk keluar. Umumnya, karyawan meninggalkan pekerjaan mereka karena tidak menyukai atasan mereka, tidak melihat peluang promosi atau tumbuh, atau mendapatkan penawaran yang lebih baik (terkadang dengan bayaran lebih tinggi). Alasan ini telah ada selama bertahun-tahun. Penelitian terbaru yang dilakukan CEB, perusahaan teknologi dan pemahaman praktik terbaik di Washington, melihat tidak hanya alasan karyawan keluar, tetapi juga kapan mereka melakukannya. “Kami mempelajari bahwa hal yang sesungguhnya berdampak kepada orang-orang adalah hal yang mereka rasakan dibandingkan dengan orang lain dalam kelompok rekan kerja mereka, atau titik mana yang akan mereka hendak capai di waktu tertentu dalam kehidupannya,” ujar Brian Kropp, yang mengetuai praktik HR di CEB. “Kita telah belajar untuk fokus terhadap keadaan yang membuat orang-orang membuat perbandingan ini.”

Sejumlah penemuan ini bukanlah hal baru. Ulang tahun pekerjaan (mulai bergabung dengan perusahaan atau pindah ke suatu posisi yang dimiliki saat ini) merupakan waktu yang umumnya digunakan untuk melakukan refleksi dan kegiatan mencari kerja, yang masing-masing meningkat hingga 6% dan 9% di kedua titik tersebut. Namun, data lain mengungkapkan faktor yang tidak terkait secara langsung dengan pekerjaan. Misalnya, ulang tahun, khususnya tonggak capaian di paruh kehidupan, seperti mencapai usia 40 atau 50, dapat mendorong karyawan untuk menilai karier mereka dan melakukan tindakan bila mereka tidak puas dengan hasil yang ada. (Pencarian pekerjaan meningkat 12% sebelum ulang tahun). Perkumpulan sosial besar teman sebaya, seperti reuni teman angkatan, dapat menjadi pendorong utama. Kegiatan ini menjadi alasan yang lazim digunakan orang-orang untuk mengukur kemajuan mereka dibandingkan yang lainnya. (Pencarian pekerjaan meningkat 16% setelah reuni). Kropp berujar, “realisasi besarnya tidak hanya sesuatu yang terjadi di tempat kerja, melainkan yang terjadi di kehidupan pribadi seseorang, yang menentukan kapan orang itu memutuskan untuk mencari pekerjaan baru.”

Teknologi juga menyajikan informasi mengenai karyawan terbaik mana yang mungkin hendak keluar. Perusahaan dapat mengetahui apakah karyawan menggunakan komputer kerja atau ponsel untuk menghabiskan waktunya (atau bahkan untuk membuka surel yang tidak diinginkan) untuk membuka situs web lowongan kerja. Penelitian juga menunjukkan lebih banyak perusahaan yang memperhatikan hal ini. Perusahaan besar telah mulai melacak seberapa banyak gesekan kartu, yang digunakan karyawan sebagai kartu identitas untuk masuk dan keluar gedung atau tempat parkir, guna mengidentifikasi pola yang menunjukkan seorang pekerja mungkin melakukan wawancara pekerjaan. Perusahaan terkadang bekerja sama dengan pihak eksternal perusahaan, seperti Joberate untuk memantau aktivitas media sosial karyawan supaya dapat melihat indikasi karyawan yang tengah mencari pilihan baru. (Di antaranya, sejumlah perusahaan melihat kepada siapa karyawan itu berkomunikasi). CEO Joberate, Michael Beygelman membandingkan pengamatan kajian ini dengan cara pemberian skor untuk dapat memprediksi konsumen mana yang akan gagal membayar kembali utangnya. Meski beberapa perusahaan bekerja sama dengan Joberate untuk membantu mengantisipasi karyawan mana yang hendak keluar, perusahaan lain menggunakan kecerdasan algoritma ini di departemen atau lokasi dengan skor “kemungkinan besar untuk keluar” yang tinggi sehingga mereka dapat bekerja untuk membangun tim dan pelibatannya secara keseluruhan. Suatu perusahaan besar menggunakan algoritma ini untuk menargetkan orang-orang supaya menjauhi perusahaan lain. Selain itu, sejumlah investor menggunakan algoritma ini untuk mengidentifikasi perusahaan yang dalam waktu dekat menghadapi pergantian posisi utama. “Jika CIO dan kepala pemasaran kemungkinan besar tengah mencari pekerjaan, Anda perlu menanyakan apa yang sedang terjadi,” ujar Beygelman.

Lori Hock, CEO Hudson Americas, perusahaan alih daya yang memproses rekrutmen dengan menggunakan Joberate, menghargai kecerdasan prediksi karena membantunya mengurangi kehilangan klien dan menyoroti kemungkinan alasan pendorongnya. “Apakah disebabkan oleh manajer yang buruk?” ujarnya. “Apakah ada komponen pelatihan? Apakah kita kurang menghargai posisi tertentu? Hal ini memberikan Anda kesempatan yang baik guna memikirkan pemicunya dan menanyakan mereka sebelum Anda kehilangan karyawan.”

Beberapa perusahaan, seperti Credit Suisse, melakukan cara untuk mengatasi persoalan karyawan yang diidentifikasi berisiko mengundurkan diri. Perekrut internal perusahaan secara tiba-tiba menghubungi karyawan untuk memberitahu adanya pembukaan posisi dalam perusahaan. Pada tahun 2014, program ini mengurangi hilangnya karyawan sebesar 1% dan mengubah pikiran 300 karyawan yang tadinya akan keluar untuk mengisi posisi baru di perusahaan. Credit Suisse memperkirakan perusahaan menghemat $75 hingga $100 juta dalam biaya perekrutan ulang dan biaya pelatihan.

Peneliti setuju bahwa intervensi di awal merupakan cara lebih baik untuk menghadapi persoalan karyawan yang tergiur untuk pindah, dibandingkan menunggu seseorang mendapatkan tawaran dan kemudian membuat tawaran balik. Data CEB menunjukkan bahwa 50% karyawan yang menerima tawaran balik akan keluar dalam waktu 12 bulan. “Keadaan ini seperti Anda dalam suatu hubungan dan Anda telah memutuskan untuk berpisah, tetapi pasangan Anda melakukan sesuatu untuk membuat Anda bertahan lebih lama,” ujar Kropp. “Karyawan yang menerima tawaran balik kemungkinan besar akan keluar di suatu titik dalam waktu dekat”.

Sumber: HBR (From the Magazine (September 2016))

Gita Djambek

Diruanghati.com is a co-blogging between my daughter, Aya and myself. This is where we share our thoughts about each other's thoughts as well as our individual thoughts. We hope readers can be entertained as well as gaining insights from us.

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *