Jika Anda ingin memahami alasan beberapa perusahaan yang memiliki budaya toksik, berkinerja rendah dibandingkan dengan potensi mereka, dan pada akhirnya jatuh — lihat saja kualitas leadership dalam timnya. Leader yang kompeten menghasilkan tingkat kepercayaan, keterlibatan, dan produktivitas yang tinggi, sedangkan leader yang tidak kompeten menghasilkan karyawan yang cemas dan terasingkan, yang mempraktikkan perilaku kerja yang tidak produktif dan menyebarkan toksisitas di keseluruhan perusahaan. Pertimbangkan adanya dampak ekonomi menghindari pekerja toksik yang dua kali lebih tinggi dibandingkan merekrut karyawan berkinerja unggul.

Leader yang tidak kompeten adalah alasan utama rendahnya tingkat keterlibatan karyawan dan semakin tingginya tingkat pencarian kerja pasif dan pekerja lepas yang terjadi.

Ketika saya menyampaikan poin ini tujuh tahun lalu, banyak orang membayangkan makna tidak kompeten, khususnya yang berhubungan dengan leadership. Dengan cara apa pun yang Anda gunakan, esensi leadership yang tidak kompeten mudah untuk didefinisikan, yakni sebagai efek merugikan yang dimiliki leader kepada bawahan, pengikut, atau perusahaannya. Beberapa sifat merupakan pusat anatomi leadership yang tidak kompeten, seperti arogansi. Berlawanan dengan kepercayaan umum, kebanyakan orang terlalu percaya diri dibandingkan kurang percaya diri. Begitu pun juga keadaan kita yang tidak lebih baik ketika leader memiliki tingkat kepercayaan diri yang besar. Kepercayaan diri (seberapa baik Anda pikir diri Anda) utamanya bermanfaat ketika diselaraskan dengan kompetensi Anda (seberapa baik diri Anda sebenarnya). Akan tetapi, banyak penelitian telah menunjukkan orang-orang yang sangat buruk dalam melakukan sesuatu menilai keterampilan dirinya sendiri sama tingginya seperti orang yang benar-benar melakukan sesuatunya dengan baik, yang umumnya terjadi karena kurangnya kesadaran diri.

Ini artinya, kita tidak dapat mengandalkan secara realistis terhadap orang yang memiliki kekuasaan untuk mengukur kemampuannya sendiri. Namun, jika hal ini benar, siapa yang bertanggung jawab untuk memprediksi dan idealnya memitigasi inkompetensi yang ada pada leader?

Dalam dunia yang ideal, orang-orang yang mengevaluasi kandidat untuk peran leadership, baik di dunia politik atau bisnis, akan berusaha mendeteksi potensi tanda-tanda inkompetensi. Budaya, tanpa memandang baik atau buruknya, hanyalah produk nilai dan perilaku leader kita. Budaya mengikuti cara terbaik untuk menciptakan budaya positif dengan menghentikan orang-orang yang tidak etis untuk naik ke atas. Hal ini berlaku dengan setara pada kedua gender, namun dengan alasan tertentu, kita terlihat tidak terlalu sibuk melawan inkompetensi yang ada pada laki-laki dibandingkan perempuan. Tentu, dari sudut pandang yang adil, manajer perekrut dapat dengan mudah menjadikan perempuan yang tidak kompeten sebagai leader, namun alternatif yang lebih baiknya adalah dengan sebaliknya lebih membedakan dengan lebih luas terhadap laki-laki yang tidak kompeten karena laki-laki saat ini sudah terlalu sering diwakili dalam peran leader.

Untuk memulainya, orang-orang yang bertanggung jawab menilai kandidat leadership harus memperbaiki kemampuannya dalam membedakan antara kepercayaan diri dan kompetensi. Salah satu keuntungan utama yang dimiliki laki-laki dibandingkan perempuan adalah ketika dipilih untuk peran leader, ada kecenderungan kita sebagai manusia untuk menyamakan kesombongan dan arogansi pada bakat. Meski benar halnya bahwa kita semua umumnya terlalu percaya diri, laki-laki terkadang lebih percaya diri (dan arogan) dibandingkan perempuan. Hal ini sebagian besar karena alasan biologis — yakni perbedaan gender dalam tindakan impulsif, dominasi, dan agresivitas yang muncul di semua budaya dan dari usia sangat muda — dan juga karena alasan budaya.

Kepercayaan diri berlebih adalah hasil yang alami dari privilese. Jika masa depan leadership lebih berdasarkan meritokrasi dan manajer memilih leader dengan alasan bakat dan potensinya dibandingkan manipulasi dalam promosi diri, pengambilan risiko yang ceroboh, atau pemikiran yang narsistik, kita tidak akan hanya berakhir dengan lebih banyak leader perempuan, namun juga dengan leader yang lebih baik. Banyak laki-laki yang kompeten juga abai dalam peran leadership karena tidak sesuai dengan jenis kekurangan leadership kami. Hal ini berarti, laki-laki dinilai sebagai “tidak cukup maskulin,” atau gagal menunjukkan atribut yang membuat leader tidak cukup efektif.

Berita baiknya, sains telah menemukan cara untuk melawan masalah ini. Untuk beberapa waktu, kami telah memiliki penilaian yang valid secara ilmiah untuk memprediksi dan mencegah inkompetensi manajerial dan leadership. Bahkan, pengujian sederhana yang awalnya terlihat tidak berbahaya atau tidak efektif dapat memprediksi jika seseorang mungkin menjadi leader yang tidak kompeten. Alasan dasarnya adalah terdapat perbedaan individual yang sistemik terhadap cara orang-orang menunjukkan dirinya sendiri, dan perbedaan ini memprediksi gaya leadership dan kompetensi orang-orang. Ketika Anda dapat menempatkan ribuan leader melalui laporan kuesioner mandiri yang sama dan Anda menghubungkan respons mereka pada gaya leadership, kinerja, dan efektivitas mereka, Anda dapat mengidentifikasi pola utama presentasi diri yang menggolongkan leader yang baik dan buruk.

Pikirkan pertanyaan berikut yang merupakan karakteristik penilaian berbasis ilmiah, yang digunakan untuk mengevaluasi potensi dan mencocokkan orang-orang pada pekerjaan. Ratusan studi ilmiah independen telah menggunakan pertanyaan ini untuk memprediksi tingkat kompetensi masa depan leader. Proses ini sangat sederhana: Anda membandingkan respons leader yang berbeda dan menghubungkannya dengan tingkat kinerja (misalnya, cara mereka memberikan dampak kepada tim dan perusahaannya). Selama pertanyaan ini berguna untuk memprediksi jika leader akan memiliki dampak positif atau negatif pada timnya, pertahankan dan gunakan pertanyaan ini untuk menghitung koefisien kompetensi secara umum (untuk mengikuti penilaian sebenarnya dan melihat nilai Anda, lihat di sini):

  • Apakah Anda memiliki bakat leadership yang luar biasa?
  • Apakah kebanyakan orang-orang ingin menjadi seperti Anda?
  • Apakah Anda jarang membuat kesalahan di tempat kerja?
  • Apakah Anda memiliki karisma yang natural?
  • Apakah Anda dapat mencapai apa pun yang Anda inginkan dengan hanya menempatkan pemikiran Anda pada hal tersebut?
  • Apakah Anda memiliki bakat khusus untuk memainkan politik di kantor?
  • Apakah Anda ditakdirkan untuk sukses?
  • Apakah lebih mudah bagi Anda untuk membodohi orang lain, dibandingkan orang-orang membodohi Anda?
  • Apakah Anda terlalu berbakat untuk berpura-pura memiliki kerendahan hati?

Mengapa penilaian mandiri yang sederhana tersebut mampu memprediksi leadership yang tidak kompeten? Hal ini disebabkan penilaian ini dapat mengukur arogansi dan kepercayaan diri berlebih dengan andal. Orang-orang dengan kecenderungan ini, termasuk orang-orang yang narsistik, biasanya tidak tertarik untuk menempatkan dirinya dalam cara yang sederhana. Bayangkan ini adalah penelitian akademik yang baru-baru ini dilakukan, berdasarkan 11 eksperimen mandiri, yang menunjukkan Anda dapat menandai perilaku narsistik dengan hanya satu pertanyaan: “Apakah Anda orang yang narsistik?” Penemuan yang mengejutkan bukanlah pertanyaan langsung atau transparan yang cukup untuk mengidentifikasi narsistik, namun orang narsistik merupakan (a) agak sadar diri terhadap narsistiknya, dan (b) justru bangga akan narsistiknya. Dengan kata lain, orang-orang yang mencintai dirinya sendiri secara tidak proporsional sering kali bangga akan egonya dan lebih sadar atas delusinya dibandingkan yang orang lain pikirkan.Berita buruknya adalah, meski alat tersebut tersedia, sangat sedikit perusahaan yang menggunakannya. Lalu, masalah yang terlihat bukanlah kita kekurangan cara untuk melihat inkompetensi, namun kita lebih sering memilih untuk tertarik olehnya. Ini artinya, kita hanya perlu menyalahkan diri sendiri atas pemilihan leadership yang destruktif terhadap diri sendiri. Mungkin inilah waktu untuk berhenti memberikan sekadar kata-kata pada kerendahan hati dan integritas, hingga kita mempraktikkan yang telah diajarkan dan memilih leader berdasarkan sifat-sifat ini. Dibandingkan mempromosikan orang-orang berdasarkan karisma, kepercayaan diri berlebih, dan sifat narsistiknya, kita harus menempatkan orang-orang dengan kompetensi, kerendahan hati, dan integritas yang sebenarnya. Masalahnya bukan berarti sifat ini sulit untuk diukur, tetapi kita terlihat tidak terlalu menginginkannya sebanyak yang kita katakan.

Sumber: HBR (Tomas Chamorro-Premuzic, 11 Maret 2020)

Gita Djambek

Diruanghati.com is a co-blogging between my daughter, Aya and myself. This is where we share our thoughts about each other's thoughts as well as our individual thoughts. We hope readers can be entertained as well as gaining insights from us.

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *