Setiap pelaku bisnis mengetahui cerita mengenai eksekutif yang sangat pintar dan sangat terampil, yang dipromosikan ke posisi leadership, kemudian gagal dalam pekerjaannya. Pelaku bisnis juga mengetahui cerita tentang seseorang dengan kemampuan intelektual dan keterampilan teknis yang solid, namun biasa-biasa saja, yang dipromosikan ke posisi serupa dan kemudian unggul.

Cerita ini mendukung kepercayaan umum mengenai pengidentifikasian individu dengan “hal yang tepat” dalam menjadi leader yang lebih merupakan seni dibandingkan sains. Pada akhirnya, gaya personal leader yang luar biasa berbeda-beda: Beberapa leader memiliki sifat lembut dan analitis, sedangkan leader lainnya menyerukan maksud perkataannya dengan suara keras. Hal pentingnya juga, situasi yang berbeda membutuhkan jenis leadership yang berbeda. Kebanyakan merger membutuhkan adanya negosiator yang sensitif, sedangkan dalam banyak keadaan titik balik, dibutuhkan otoritas yang lebih kuat.

Akan tetapi, saya telah menemukan bahwa leader yang paling efektif terlihat mirip pada satu cara yang krusial: Mereka semua memiliki tingkat yang tinggi dalam hal yang diketahui sebagai kecerdasan emosional. Hal ini tidak berarti IQ dan keterampilan teknis tidak relevan. IQ dan keterampilan teknis memang penting, namun utamanya sebagai “kemampuan ambang batas”, yaitu sebagai persyaratan tingkat rendah untuk posisi eksekutif. Akan tetapi, penelitian saya, beserta studi lainnya yang baru-baru ini dilakukan, dengan jelas menunjukkan kecerdasan emosional merupakan persyaratan leadership. Tanpanya, seseorang dapat memiliki pelatihan terbaik di dunia, pemikiran yang tajam dan analitikal, dan pasokan ide pintar tanpa habis, tetapi dia tidak akan menjadi leader yang hebat.

Lima Komponen Kecerdasan Emosional di Pekerjaan

KESADARAN DIRI: Kemampuan untuk mengakui dan memahami suasana, emosi, dan pendorong, serta efeknya terhadap orang lain

PENGATURAN DIRI: Kemampuan untuk mengendalikan atau mengarahkan kembali dorongan disruptif dan perasaan dan kecenderungan untuk menahan penilaian — untuk berpikir sebelum bertindak

MOTIVASI: Minat untuk bekerja dengan alasan yang melampaui uang atau status, serta kecenderungan untuk mengejar tujuan dengan energi dan persistensi.

EMPATI: Kemampuan untuk memahami keadaan emosional orang lain dan kemampuan untuk memperlakukan orang lain berdasarkan reaksi emosionalnya.

KETERAMPILAN SOSIAL: Kemampuan dalam mengelola hubungan dan membangun jaringan, serta kemampuan untuk menemukan pijakan bersama dan membangun hubungan.

Setahun lalu, saya dan rekan kerja berfokus pada cara kecerdasan emosional dijalankan pada pekerjaan. Kami telah memperhatikan hubungan antara kecerdasan emosional dan kinerja yang efektif, khususnya pada leader. Kami juga telah mengamati cara kecerdasan emosional menunjukkan dirinya pada pekerjaan. Bagaimana Anda tahu kalau misalnya seseorang memiliki kecerdasan emosional dan bagaimana Anda sendiri dapat mengenalinya pada diri sendiri? Di halaman selanjutnya, kita akan menjelajahi pertanyaan ini, dengan mengambil setiap komponen kecerdasan emosional—kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial—secara bergantian.

Mengevaluasi Kecerdasan Emosional

Kebanyakan perusahaan besar kini telah mempekerjakan psikolog terlatih untuk mengembangkan hal yang diketahui sebagai “model kompetensi” untuk membantu perusahaan dalam mengidentifikasi, melatih, dan mempromosikan karyawan yang berpotensi unggul di ranah leadership. Psikolog ini juga mengembangkan model ini untuk posisi dengan level yang lebih rendah. Beberapa tahun terakhir ini, saya telah menganalisis model kompetensi dari 188 perusahaan, yang kebanyakan adalah perusahaan besar dan global, antara lain Lucent Technologies, British Airways, dan Credit Suisse.

Dalam menjalankankan pekerjaan ini, tujuan saya adalah untuk menentukan kemampuan personal mana yang akan mendorong kinerja luar biasa dalam perusahaan ini, dan hingga sejauh mana kapabilitas personal ini dapat dilakukan. Saya mengelompokkan kemampuan dalam tiga kategori: keterampilan teknis murni, seperti akunting dan perencanaan bisnis, kemampuan kognitif seperti pengambilan kesimpulan analitis, dan kompetensi yang menunjukkan kecerdasan emosional, seperti kemampuan bekerja dengan orang lain dan efektivitas dalam memimpin perubahan.

Untuk membuat beberapa model kompetensi, psikolog menanyakan manajer senior di perusahaan untuk mengidentifikasi kapabilitas yang menunjukkan leader paling luar biasa di perusahaan. Untuk membuat model lainnya, psikolog menggunakan kriteria objektivitas, seperti kemampuan menghasilkan profit untuk membedakan karyawan berkinerja unggul di level senior dalam organisasinya dengan karyawan berkinerja rata-rata. Individu ini kemudian diwawancara dan diuji secara ekstensif dan kemampuan mereka dibandingkan. Proses ini menghasilkan adanya daftar bahan-bahan untuk leader yang sangat efektif. Daftar ini memiliki kisaran dari tujuh hingga 15 poin dan termasuk di dalam bahan ini adalah visi inisiatif dan strategis.

Ketika saya menganalisis semua data ini, saya menemukan hasil yang signifikan. Untuk memastikannya, kecerdasan merupakan pendorong yang luar biasa. Keterampilan kognitif seperti pemikiran skala besar dan visi jangka panjang, khususnya adalah hal yang penting. Namun, ketika saya menghitung rasio keterampilan teknis, IQ, dan kecerdasan emosional sebagai bahan kinerja yang luar biasa, kecerdasan emosional terbukti dua kali lebih penting dibandingkan yang lainnya di semua tingkat pekerjaan.

Selain itu, analisis saya menunjukkan kecerdasan emosional memainkan kenaikan peran yang sangat penting pada tingkat puncak perusahaan, yang ditunjukkan perbedaan pada keterampilan teknis sebagai dianggap yang tidak terlalu signifikan. Dengan kata lain, semakin tinggi peringkat seseorang yang dianggap berkinerja unggul, lebih banyak kemampuan kecerdasan emosional yang muncul sebagai alasan efektivitasnya. Ketika saya membandingkan karyawan berkinerja unggul dengan rata-rata karyawan yang ada di posisi senior leadership, hampir sebanyak 90% perbedaan pada profil mereka ditunjukkan melalui faktor kecerdasan emosional dibandingkan kemampuan kognitif.

Peneliti kami telah mengonfirmasi kalau kecerdasan emosional tidak hanya membedakan leader yang luar biasa, tetapi juga terkait dengan kinerja yang kuat. Temuan mendiang David McClelland, peneliti yang dikenal dalam perilaku manusia dan perusahaan, merupakan contoh yang baik. Dalam studi tahun 1996 pada perusahaan makanan dan minuman, McClelland menemukan ketika manajer senior memiliki banyak kemampuan kecerdasan emosional yang kritis, pendapatan capaian kinerja tahunan di divisi mereka melebihi target sebanyak 20%. Sedangkan, leader divisi tanpa kemampuan kecerdasan emosional yang kritis memiliki kinerja lebih rendah, hampir dengan jumlah yang sama. Temuan McClelland menariknya terbukti benar di perusahaan yang ada pada divisi di Amerika Serikat dibandingkan dengan divisi di Asia dan Eropa.

Singkatnya, angka ini mulai memberi tahu kami cerita yang meyakinkan mengenai keterkaitan antara kesuksesan perusahaan dan kecerdasan emosional yang dimiliki leader. Hal yang sama pentingnya, penelitian juga menunjukkan bahwa orang-orang dapat mengembangkan kecerdasan emosionalnya jika menggunakan pendekatan yang tepat. (Lihat bagian samping “Can Emotional Intelligence Be Learned?”)

Kesadaran Diri

Kesadaran diri merupakan komponen pertama kecerdasan emosional, yang masuk akal ketika seseorang menganggap Delphic Oracle memberikan saran untuk “mengenali diri sendiri” ribuan tahun lalu. Kesadaran diri berarti memiliki pemahaman mendalam terhadap emosi, kekuatan, kelemahan, kebutuhan, dan dorongan seseorang. Orang-orang dengan kesadaran diri yang kuat tidak terlalu kritis dan tidak juga terlalu optimis secara tidak realistis. Sebaliknya, mereka berterus terang—dengan diri sendiri dan dengan orang lain.

Orang-orang yang memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi mengetahui cara perasaan mereka memengaruhi dirinya sendiri, orang lain, dan kinerja pekerjaannya. Untuk itu, orang yang memahami diri sendiri, yang mengetahui tenggat sempit akan membuatnya kacau sehingga akan merencanakan waktu dengan saksama dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik di awal. Orang lain dengan kesadaran diri yang tinggi dapat bekerja dengan klien yang menuntut. Orang ini akan memahami dampak klien pada perasaannya dan alasan yang lebih mendalam terhadap rasa frustrasinya. “Permintaannya yang bersifat trivia akan menjauhkan kita dari pekerjaan sesungguhnya yang harus diselesaikan,” dia mencoba jelaskan. Kemudian, dia akan mengambil satu langkah lebih jauh dan mengubah kemarahannya menjadi sesuatu yang konstruktif.

Kesadaran diri menjangkau pemahaman seseorang terhadap nilai dan tujuannya. Seseorang yang dengan kesadaran diri yang tinggi mengetahui arah yang dituju dan alasannya. Misalnya, dia akan tegas menolak tawaran pekerjaan yang menarik secara finansial, tetapi tidak cocok dengan prinsip atau tujuan jangka panjangnya. Orang-orang yang tidak memiliki kesadaran diri cenderung membuat keputusan yang menjadikan pergolakan dalam diri dengan memikirkan nilai-nilai yang terpendam. “Uangnya terlihat sangat menarik sehingga saya menandatanganinya, namun karena pekerjaannya sangat kecil bagi saya, saya selalu merasa bosan.” Keputusan orang-orang dengan kesadaran diri untuk melibatkan nilai mereka membuat mereka terkadang melihat pekerjaan sebagai penyemangat.

Bagaimana cara seseorang mengenal kesadaran diri? Pertama-tama, kesadaran diri akan menunjukkan dirinya dengan berterus terang dan kemampuan menilai seseorang dengan realistis. Orang-orang dengan kesadaran diri tinggi mampu berbicara dengan akurat dan terbuka — meski tidak selalu berlebihan atau berterus terang — mengenai emosi mereka dan dampak yang diberikan pada pekerjaan mereka. Misalnya, seorang manajer yang saya tahu bersikap skeptis mengenai layanan baru asisten pembelanja yang akan segera dikenalkan perusahaannya, waralaba perusahaan toserba utama. Tanpa menunggu tim atau bosnya, dia memberikan penjelasan kepada mereka: “Sulit bagi saya untuk mendukung peluncuran layanan ini,” ungkapnya, “karena saya sangat ingin menjalankan proyek, namun saya tidak terpilih. Bersabarlah dengan saya selagi saya menghadapinya.” Manajer ini memang memperhatikan perasaannya. Seminggu kemudian, manajer ini mendukung proyek ini secara penuh.

Pengetahuan diri seperti ini muncul dengan sendirinya dalam proses perekrutan. Tanyakan calon karyawan untuk menjelaskan waktu dia terbawa perasaan dan melakukan sesuatu yang dia sesali setelahnya. Calon karyawan yang sadar diri akan berterus terang dalam mengakui kegagalan — dan terkadang akan memberi tahu ceritanya dengan senyuman. Satu penanda kesadaran diri adalah perasaan humor dengan mencela diri sendiri.

Kesadaran diri juga dapat diidentifikasi selama tinjauan kinerja. Orang-orang yang sadar diri mengetahui — dan nyaman untuk membicarakan — batasan dan kekuatan mereka, dan mereka terkadang menunjukkan keinginan untuk mendapatkan kritik yang konstruktif. Sebaliknya, orang-orang dengan kesadaran diri rendah menafsirkan pesan saran perbaikan mereka sebagai ancaman atau tanda kegagalan.

Orang-orang dengan kesadaran diri juga dapat dikenali dengan kepercayaan dirinya. Mereka memiliki kemampuan yang dirasakan tegas dan kemungkinan tidak membuat diri mereka gagal, misalnya dengan melakukan sesuatu di luar tugas biasanya. Mereka juga mengetahui kapan harus meminta bantuan. Juga, menghitung risiko yang mereka dapatkan dalam pekerjaan. Mereka tidak akan meminta tantangan yang mereka tahu tidak dapat diselesaikan sendiri. Mereka akan memanfaatkan kekuatannya.

Pertimbangkan tindakan karyawan tingkat menengah yang diundang untuk duduk dalam meeting strategi dengan eksekutif teratas perusahaan. Meski dia merupakan orang paling junior di dalam ruangan, dia tidak duduk dengan tenang, mendengarkan dalam kagum, atau diam dalam takut. Dia mengetahui kalau dia memiliki pemikiran untuk penjelasan logis dan keterampilan untuk mempresentasikan saran dengan persuasif sehingga dia memberikan saran yang meyakinkan mengenai strategi perusahaan. Pada waktu yang sama, kesadaran dirinya menghentikan dirinya bergerak menuju wilayah yang dia ketahui sebagai kelemahannya.

Meski terdapat nilai dari memiliki orang dengan kesadaran diri di tempat kerja, penelitian saya menunjukkan eksekutif senior terkadang tidak memberikan kesadaran diri dengan apresiasi yang seharusnya ketika mereka mencari leader yang berpotensi. Banyak eksekutif salah memahami keterusterangan sebagai perasaan “lemah” dan gagal untuk menghormati karyawan yang mengakui kelemahannya dengan terbuka. Orang-orang ini dengan cepat dianggap “tidak cukup kuat” untuk memimpin orang lain.

Kenyataannya, yang berlaku adalah hal sebaliknya. Alasan pertama, orang-orang umumnya memuji dan menghormati keterusterangan. Selain itu, leader terus-menerus diperlukan untuk membuat keputusan penilaian yang memerlukan kemampuan menilai dengan jujur — pada diri mereka dan pada orang lainnya. Apakah kita memiliki keahlian manajemen untuk mengakuisisi kompetitor? Dapatkah kita meluncurkan produk baru dalam waktu enam bulan? Orang-orang yang menilai diri mereka dengan jujur — yaitu, orang dengan kesadaran diri — cocok untuk melakukan hal yang sama bagi perusahaan yang mereka jalankan.

Pengaturan diri

Impuls biologis mendorong emosi kita. Kita tidak dapat menjauh dari emosi ini, namun kita dapat melakukan berbagai cara untuk mengelolanya. Pengaturan diri, yang seperti percakapan yang berlangsung dalam diri, merupakan komponen kecerdasan emosional yang membebaskan kita dari kurungan perasaan kita. Orang-orang terlibat dalam percakapan ini merasakan suasana hati yang buruk dan impuls emosional seperti yang dirasakan orang lain, tetapi mereka memiliki cara untuk mengendalikannya, dan bahkan untuk menyalurkannya dengan cara yang berguna.

Bayangkan eksekutif yang baru menyaksikan tim karyawannya menunjukkan analisis yang kacau kepada dewan direksi perusahaan. Dalam suasana suram yang terjadi, eksekutif mungkin ingin memukul meja dengan marah atau menendang kursi. Dia dapat berdiri dan berteriak pada grup. Dia juga dapat terus diam dengan muram, dengan tatapan mata tajam ke semua orang sebelum keluar dengan marah.

Namun, karena dia memiliki bakat pengaturan diri, dia akan memilih pendekatan yang berbeda. Dia akan berhati-hati memilih kata-kata, mengakui kinerja tim yang buruk tanpa langsung menyimpulkan dengan cepat pada penilaian. Dia akan mundur untuk mempertimbangkan alasan kegagalan. Apakah alasannya personal, seperti kurangnya usaha? Apakah ada faktor yang memitigasinya? Apa perannya dalam kegagalan ini? Setelah memikirkan pertanyaan ini, dia akan mengumpulkan tim ini bersama-sama, menjelaskan akibat insiden itu, dan menyampaikan perasaan tentang kejadian itu. Dia akan menunjukkan hasil analisis masalah dan solusi yang sudah dipertimbangkan dengan matang.

Mengapa pengaturan diri sangat penting bagi leader? Pertama-tama, orang yang dapat mengendalikan perasaan dan impulsnya, yaitu orang-orang yang rasional, dapat menciptakan lingkungan dengan kepercayaan dan adil. Di lingkungan itu, politik dan kompetisi ini dikurangi dengan signifikan dan adanya tingkat produktivitas yang tinggi. Orang-orang berbakat akan berdatangan ke perusahaan dan tidak ingin mengundurkan diri. Pengaturan diri juga mempunyai efek yang menurun ke bawah. Tidak ada orang yang ingin dikenal sebagai pemarah ketika bosnya dikenal dengan pendekatannya yang tenang. Lebih sedikit suasana buruk di atas berarti lebih sedikit juga di keseluruhan perusahaan.

Kedua, pengaturan diri penting untuk alasan kompetitif. Setiap orang mengetahui bisnis saat ini penuh dengan ketidakpastian dan perubahan. Perusahaan yang merger dan pecah terjadi secara rutin. Teknologi mentransformasi pekerjaan pada kecepatan yang memusingkan. Orang-orang yang telah menguasai emosi mereka mampu menghadapi perubahan. Dengan program baru yang diumumkan, mereka tidak panik. Sebaliknya, mereka mampu menangguhkan penilaian, mencari informasi, dan mendengarkan eksekutif selagi mereka menjelaskan program barunya. Selagi inisiatif ini bergerak ke depan, orang-orang ini dapat berpindah dengannya.

Terkadang, mereka bahkan memimpin jalannya. Pertimbangkan keadaan manajer pada perusahaan manufaktur besar. Seperti rekan kerjanya, dia telah menggunakan program perangkat lunak komputer selama lima tahun. Program ini menggerakkan cara dia mengumpulkan dan melaporkan data dan cara dia memikirkan strategi perusahaan. Suatu hari, eksekutif senior mengumumkan instalasi program baru yang akan mengubah drastis terhadap cara pengumpulan informasi dan penilaian dalam perusahaan. Selagi banyak orang di perusahaan mengeluh dengan pahit mengenai kemungkinan perubahan cara yang disruptif, manajer mempertimbangkan alasan program baru dan meyakini potensinya untuk meningkatkan kinerja. Dia bersemangat untuk menghadiri sesi pelatihan — beberapa rekan kerjanya menolak menghadiri sesi ini — dan pada akhirnya dipromosikan untuk menjalankan beberapa divisi, khususnya karena dia menggunakan teknologi baru dengan sangat efektif.

Saya ingin mendorong pentingnya pengaturan diri yang lebih jauh pada leadership dan membuat keadaan untuk meningkatkan integritas, yang tidak hanya merupakan kebajikan personal, namun juga kekuatan perusahaan. Banyak hal yang buruk terjadi di perusahaan merupakan fungsi perilaku impulsif. Orang-orang jarang membuat rencana untuk melebihkan profit, membuat pengeluaran palsu, mencuri uang, atau menyalahgunakan kuasa untuk kepentingan ego sendiri. Sebaliknya, peluang ini muncul dengan sendirinya, dan orang-orang dengan kendali impuls yang rendah langsung mengatakan “ya”.

Sebaliknya, pertimbangkan perilaku eksekutif senior di perusahaan makanan besar. Eksekutif berterus terang dengan berhati-hati dalam negosiasinya bersama distributor lokal. Dia akan menjelaskan struktur biaya dengan terperinci, yang memberikan pemahaman realistis terhadap pemberian harga perusahaan kepada distributor. Pendekatan ini berarti eksekutif tidak dapat selalu mendorong negosiasi yang kuat. Sekarang ini, terkadang, dia merasakan dorongan untuk menaikkan profit dengan menahan informasi mengenai biaya perusahaan. Akan tetapi, dia menentang impuls tersebut — dia melihat lebih logis untuk mengatasinya di masa mendatang. Pengaturan diri emosionalnya terbayar dengan hubungan yang kuat dan bertahan lama dengan distributor yang lebih memberikan manfaat kepada perusahaan dibandingkan keuntungan finansial jangka pendek yang mungkin akan didapatkannya.

Oleh karena itu, tanda pengaturan diri emosional mudah dilihat, yaitu kecenderungan refleksi dan kebijaksanaan, kenyamanan dengan ketidakpastian dan perubahan; dan integritas, yang merupakan kemampuan untuk berkata tidak pada dorongan impuls.

Seperti kesadaran diri, pengaturan diri terkadang tidak selalu terlihat baik. Orang yang dapat menguasai emosinya terkadang terlihat seperti orang yang dingin dan tidak ramah—mereka menganggap respons sebagai kurangnya minat. Orang-orang dengan temperamen yang berapi-api sering kali disebut sebagai leader “klasik” — luapan emosinya dianggap sebagai tanda karisma dan kuasa. Akan tetapi, dengan orang-orang seperti ini yang telah ada di atas, dorongan impuls mereka terkadang bekerja berlawanan dengan mereka. Dalam penelitian saya, menunjukkan emosi negatif secara ekstrem tidak pernah muncul sebagai pendorong leadership yang baik.

Motivasi

Ada satu ciri yang secara virtual dimiliki oleh semua leader, yakni motivasi. Leader didorong untuk pencapaian yang melampaui ekspektasi — diri sendiri dan orang lain. Kata kunci di sini adalah pencapaian. Banyak orang termotivasi oleh faktor eksternal, seperti gaji besar atau status yang datang dari kepemilikan jabatan yang tinggi atau menjadi bagian dari perusahaan yang bergengsi. Sebaliknya, orang-orang dengan potensi leadership termotivasi dengan keinginan yang mendalam demi mencapai suatu pencapaian.

Jika Anda mencari leader, bagaimana cara Anda mengidentifikasi orang yang termotivasi dengan dorongan untuk pencapaian dibandingkan dengan penghargaan eksternal? Tanda pertama adalah keinginan untuk bekerja — orang-orang tersebut akan mencari tantangan kreatif, menyukai pembelajaran, dan ingin ikut bangga dalam menyelesaikan pekerjaan. Mereka juga menunjukkan energi yang tidak kunjung habis untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik. Orang-orang dengan energi tersebut terkadang terlihat gelisah dengan status quo. Orang-orang ini persisten dengan pertanyaan mereka mengenai alasan dilakukannya sesuatu dengan satu arah dibandingkan arah lainnya sehingga mereka ingin menjelajahi pendekatan baru pada pekerjaan mereka.

Manajer perusahaan kosmetik, misalnya, merasa frustrasi karena harus menunggu selama dua minggu untuk mendapatkan hasil penjualan dari orang-orang di lapangan. Dia akhirnya mendapatkan sistem telepon otomatis ke karyawan pemasarannya yang akan berbunyi pada pukul 5 sore setiap hari. Pesan otomatis akan muncul untuk memasukkan angka mereka, yang berisi seberapa banyak panggilan dan penjualan yang telah dilakukan pada hari itu. Sistem ini memperpendek waktu umpan balik pada hasil penjualan dari berminggu-minggu menjadi hitungan jam.

Cerita ini menggambarkan dua sifat umum lainnya pada orang-orang yang terdorong untuk pencapaian. Mereka terus menaikkan standar kinerja, dan mereka ingin menambah nilai. Pertama, terhadap standar kinerja. Selama tinjauan kinerja, orang-orang dengan tingkat motivasi tinggi mungkin diminta “ditingkatkan” oleh atasan mereka. Tentunya, karyawan yang menggabungkan kesadaran diri dengan motivasi internal akan mengakui batasannya — tetapi dia tidak akan berhenti pada tujuan yang terlihat terlalu mudah untuk dipenuhi.

Hal ini secara alami akan mengikuti pada orang-orang yang terdorong untuk melakukan lebih baik, juga menginginkan cara untuk melacak kemajuan — diri mereka, tim, dan perusahaannya. Sebaliknya, orang-orang dengan motivasi pencapaian rendah terkadang tidak memiliki kejelasan hasil, sedangkan orang-orang dengan motivasi pencapaian tinggi akan mencetak nilai dengan melacak tindakan yang sulit, seperti kemampuan menghasilkan profit atau pangsa pasar. Saya kenal manajer keuangan yang memulai dan mengakhiri kesehariannya di internet, menghasilkan kinerja dana sahamnya terhadap empat kumpulan tolok ukur industri.

Hal yang menariknya, orang-orang dengan motivasi tinggi tetap optimis bahkan ketika nilai mereka tidak baik. Dalam keadaan ini, pengaturan diri yang dikombinasikan dengan motivasi pencapaian untuk mengatasi frustrasi dan depresi yang datang setelah langkah mundur atau kegagalan. Pertimbangkan keadaan manajer portofolio pada perusahaan investasi besar. Setelah beberapa tahun sukses, dananya turun selama tiga kuartal berturut-turut sehingga tiga klien institusi besarnya beralih bisnisnya ke tempat lain.

Beberapa eksekutif akan menyalahkan penurunan drastis sebagai keadaan yang di luar kendali mereka, sedangkan yang lain melihat langkah mundur sebagai bukti kegagalan personal. Akan tetapi, manajer portofolio ini melihat peluang untuk membuktikan dia dapat membalikkan keadaan. Dua tahun setelahnya, ketika dia dipromosikan pada tingkatan yang sangat senior di perusahaan, dia menjelaskan pengalamannya sebagai “sesuatu paling baik yang terjadi pada saya, saya belajar banyak hal karenanya.”

Eksekutif yang mencoba mengenali tingkat tinggi motivasi pencapaian pada orang-orang mereka dapat melihat satu bukti terakhir, yakni komitmen pada perusahaan. Ketika orang-orang menyukai pekerjaan karena pekerjaan yang dilakukan, mereka terkadang merasa berkomitmen pada perusahaan yang membuat pekerjaan dapat dilakukan. Karyawan yang berkomitmen mungkin akan tetap bertahan pada perusahaan, bahkan ketika mereka dikejar oleh perekrut karyawan yang melambaikan uang.

Tidak sulit memahami cara dan alasan motivasi pencapaian diartikan menjadi leadership yang kuat. Jika Anda menentukan standar kinerja yang tinggi untuk Anda sendiri, Anda akan melakukan hal yang sama untuk perusahaan ketika Anda berada di posisi untuk melakukan hal tersebut. Demikian pula, dorongan untuk melampaui tujuan dan minat untuk mengumpulkan nilai juga dapat menular. Leader dengan sifat ini terkadang dapat membangun tim manajer di sekitarnya dengan sifat yang sama. Tentunya, rasa optimisme dan komitmen organisasi merupakan hal fundamental pada leadership — cobalah bayangkan menjalankan perusahaan tanpa mereka.

Empati

Dari semua dimensi kecerdasan emosional, empati adalah yang paling mudah dilihat. Kita semua merasakan empati guru atau teman yang sensitif, kita semua juga terkena pada ketiadaan empati pada coach atau bos yang tidak berperasaan. Namun, di dalam bisnis, kita jarang mendengar orang dipuji, jangankan diberikan penghargaan atas empati mereka. Kata itu terasa seperti bukan untuk bisnis sehingga tidak mendapatkan tempat di tengah realitas pasar.

Akan tetapi, empati bukanlah keadaan seperti “Saya baik-baik saja, Anda baik-baik saja”. Bagi leader, ini bukan berarti mengadopsi emosi orang lain sebagai emosinya sendiri dan mencoba memuaskan setiap orang. Hal ini mungkin akan terlihat seperti mimpi buruk, yang akan membuat tindakan mustahil dilakukan. Sebaliknya, empati berarti dengan bijaksana memperhatikan perasaan karyawan — bersama dengan faktor lainnya — dalam proses membuat keputusan yang cerdas.

Sebagai contoh empati yang dilakukan, pertimbangkan hal yang terjadi ketika dua perusahaan pialang merger, membuat jumlah karyawan yang melebihi keperluan di semua divisinya. Satu manajer divisi memanggil orang-orangnya bersama dan memberikan pidato suram yang menegaskan sejumlah orang yang segera dipecat. Manajer dari divisi lain membedakan pidato yang berbeda kepada orang-orangnya. Dia mengungkapkan kekhawatirannya dan kebingungannya sendiri, dan dia berjanji untuk tetap memberitahukan orang-orang dan memperlakukan mereka dengan adil.

Perbedaan di antara kedua manajer ini adalah empati. Manajer pertama terlalu khawatir mengenai takdirnya untuk mempertimbangkan perasaan rekan kerja yang dilanda kecemasan. Manajer kedua secara intuitif mengetahui hal yang dirasakan orang-orangnya dan dia mengakui ketakutannya dengan perkataannya sendiri. Apakah mengejutkan melihat manajer pertama melihat divisinya tenggelam ketika banyak orang-orang yang mengalami penurunan moral, khususnya orang yang paling berbakat akhirnya meninggalkan perusahaan? Sebaliknya, manajer kedua terus menjadi leader yang kuat, orang-orang terbaiknya bertahan, dan divisinya tetap produktif seperti sebelumnya.

Empati khususnya sangat penting kini sebagai komponen leadership untuk setidaknya tiga alasan: meningkatkan penggunaan tim, tingkat globalisasi yang cepat, dan kebutuhan yang meningkat untuk mempertahankan karyawan.

Pertimbangkan tantangan dalam memimpin tim. Sebagai orang yang pernah menjadi bagian dari tim dapat membuktikan, tim merupakan wadah dengan buih-buih emosi. Mereka terkadang diharuskan untuk mencapai konsensus — yang cukup sulit dengan dua orang, dan lebih sulit lagi dengan jumlah yang meningkat. Bahkan, di kelompok dengan jumlah empat atau lima anggota, terbentuk aliansi dan ada konflik dalam menentukan agenda. Leader tim harus mampu merasakan dan memahami pandangan setiap orang di sekeliling meja.

Hal inilah yang mampu dilakukan manajer pemasaran di perusahaan teknologi informasi besar ketika ditunjuk untuk memimpin tim yang bermasalah. Kelompok ini berada dalam pergolakan, dengan beban pekerjaan berlebih dan tenggat yang terlewatkan. Ketegangannya tinggi di antara para anggota. Bekerja dengan prosedur tidak cukup untuk mengumpulkan grup ini bersama dan membuatnya sebagai bagian dari perusahaan yang efektif.

Jadi, manajer ini mengambil beberapa langkah. Dalam urutan sesi satu per satu, dia meluangkan waktu untuk mendengarkan setiap orang dalam grup — hal yang membuat frustrasi, cara mereka menilai rekan kerjanya, jika mereka merasa telah diabaikan. Kemudian, dia mengarahkan tim dengan cara yang menyatukan semuanya. Dia mendorong orang-orang untuk berbicara lebih terbuka mengenai frustrasi mereka, dan dia membantu orang-orang untuk menyampaikan keluhan konstruktif selama meeting. Singkatnya, rasa empati telah membuatnya memahami keadaan emosional timnya. Hasilnya tidak hanya kerja sama yang meningkat antara anggota, namun juga bisnis yang meluas karena tim diminta untuk membantu kisaran klien internal yang lebih luas.

Globalisasi merupakan alasan lain untuk meningkatkan pentingnya empati bagi leader bisnis. Dialog antarbudaya dapat dengan mudah menghasilkan kesalahan dan kesalahpahaman. Empati merupakan penawarnya. Orang-orang yang telah menyesuaikan diri dengan arti bahasa tubuh dapat mendengar pesan di balik kata-kata yang sedang diucapkan. Di luar itu, mereka memiliki pemahaman mendalam, baik pada eksistensi dan pentingnya perbedaan budaya dan etnis.

Pertimbangkan kasus konsultan Amerika yang timnya telah mempresentasikan proyek kepada klien orang Jepang yang berpotensi. Dalam kesepakatannya dengan orang Amerika, tim telah terbiasa dihujani dengan pertanyaan setelah menjelaskan proposal tersebut, namun kali ini konsultan ini mendapatkan keheningan yang lama. Anggota tim lain menganggap keheningan sebagai penolakan, yang telah siap membereskan barangnya dan meninggalkan lokasi. Ketua konsultan itu mengisyaratkan mereka untuk berhenti. Meski dia tidak familier dengan budaya Jepang, dia dapat membaca wajah klien dan posturnya, dan tidak merasakan penolakan, melainkan ketertarikan — bahkan pertimbangan mendalam. Dia memang benar, sebab ketika klien akhirnya berbicara, mereka memberikan pekerjaan kepada perusahaan konsultan.

Pada akhirnya, empati memainkan peran utama dalam retensi karyawan, khususnya pada informasi ekonomi saat ini. Leader selalu membutuhkan empati untuk mengembangkan dan mempertahankan orang-orang yang bagus, namun kini standarnya semakin tinggi. Ketika orang-orang bagus keluar, mereka membawa pengetahuan perusahaan bersama mereka.

Inilah kegunaan coaching dan mentoring. Telah berapa kali ditunjukkan bahwa coaching dan mentoring menjadikan tidak hanya kinerja yang baik, namun juga kepuasan pekerjaan yang meningkat dan perputaran karyawan yang rendah. Akan tetapi, hal yang membuat coaching dan mentoring bekerja lebih baik adalah sifat dari hubungan. Para coach dan mentor yang luar biasa masuk ke dalam pemikiran orang-orang yang mereka bantu. Mereka merasakan cara memberikan umpan balik yang efektif. Mereka mengetahui kapan harus mendorong kinerja lebih baik dan kapan harus menghindarinya. Dengan cara mereka memotivasi penerima coaching dan mentoring ini, mereka menunjukkan empati secara langsung.

Mungkin ini terdengar seperti mengulang, namun izinkan saya menjelaskan kalau empati tidak terlalu dihormati dalam bisnis. Orang-orang membayangkan cara leader dapat membuat keputusan sulit jika mereka “merasakan” semua orang yang akan terdampak. Akan tetapi, leader dengan rasa empati melakukan lebih dari rasa simpati dengan orang-orang di sekitar mereka. Mereka menggunakan pengetahuan mereka untuk memperbaiki perusahaan dengan cara halus, namun tetap penting.

Keterampilan Sosial

Tiga komponen pertama kecerdasan emosional adalah keterampilan manajemen diri. Tiga yang terakhir, empati dan keterampilan sosial, adalah kemampuan seseorang untuk mengelola hubungan dengan orang lain. Sebagai komponen kecerdasan emosional, keterampilan sosial tidak sederhana seperti yang terdengar. Ini tidak hanya mengenai keramahan, meski orang-orang dengan tingkat keterampilan sosial yang tinggi jarang sekali berpikiran jahat. Sebaliknya, keterampilan sosial adalah keramahan dengan tujuan, yaitu menggerakkan orang-orang pada arah yang Anda inginkan, baik dalam menyepakati strategi pemasaran baru maupun antusiasme mengenai produk baru.

Orang-orang dengan keterampilan sosial cenderung memiliki lingkaran pertemanan yang luas dan mereka memiliki kemampuan untuk menemukan kesamaan dengan orang-orang yang berbeda, yakni kemampuan untuk membangun hubungan. Hal ini tidak berarti mereka terus-menerus bersosialisasi, namun mereka bekerja berdasarkan asumsi tidak ada sesuatu yang penting dapat diselesaikan sendiri. Orang-orang ini memiliki jaringan yang ada ketika datang waktu untuk bertindak.

Keterampilan sosial adalah kumpulan dimensi lain kecerdasan emosional. Orang-orang cenderung sangat efektif ketika mengelola hubungan yang dapat mereka pahami, dapat mengendalikan emosi mereka, dan dapat berempati dengan perasaan orang lain. Bahkan, motivasi berkontribusi pada keterampilan sosial. Ingatlah kalau orang yang terdorong untuk pencapaian cenderung lebih optimis, bahkan ketika ada langkah mundur atau kegagalan. Ketika orang-orang ini sedang optimis, “aura” mereka dipancarkan melalui percakapan dan interaksi sosial lainnya. Mereka dikenal karena alasan yang baik.

Karena ini adalah hasil dimensi lain kecerdasan emosional, keterampilan sosial mudah dikenali pada pekerjaan dengan banyak cara yang sekarang ini akan terdengar familier. Orang-orang yang memiliki keterampilan sosial, misalnya, mahir dalam manajemen tim — inilah empati mereka di pekerjaan. Demikian pula, mereka mahir dalam membujuk, yang merupakan manifestasi gabungan kesadaran diri, pengaturan diri, dan empati. Dengan melihat keterampilan ini, pembujuk yang baik tahu kapan harus membuat permintaan emosional, misalnya, dan daya tarik atas alasan yang akan bekerja lebih baik. Juga motivasi, ketika ditunjukkan secara luas, membuat orang-orang ini sebagai kolaborator yang sempurna. Minat mereka untuk bekerja menyebar ke orang lainnya, dan mereka terdorong untuk menemukan solusi. 

Akan tetapi, terkadang keterampilan sosial menunjukkan dirinya dengan cara yang tidak ditunjukkan kecerdasan emosional lain. Contohnya, orang yang terampil secara sosial terkadang terlihat tidak bekerja ketika berada di tempat kerja. Mereka terlihat berbincang santai—mengobrol di koridor dengan rekan kerja atau bercanda dengan orang-orang yang bahkan tidak terhubung dengan pekerjaan mereka yang “sebenarnya”. Akan tetapi, orang-orang yang terampil secara sosial, tidak berpikir masuk akal halnya untuk melakukan pembatasan dengan memisahkan hubungan mereka. Mereka membangun ikatan secara luas karena mereka mengetahui dalam waktu yang dinamis ini, mereka mungkin perlu bantuan dari orang-orang yang mereka kenal saat ini.

Contohnya, pertimbangkan kasus eksekutif di departemen strategi pemanufaktur komputer global. Pada tahun 1993, dia yakin masa depan perusahaan ditentukan dengan internet. Di tahun berikutnya, dia menemukan orang yang berpikiran sama dan menggunakan keterampilan sosialnya untuk bersama-sama bergabung dalam komunitas virtual yang melampaui level, divisi, dan batas negara. Dia kemudian menggunakan tim aktualnya untuk membuka situs web perusahaan, salah satu yang pertama dilakukan oleh perusahaan besar. Dengan inisiatifnya sendiri, tanpa anggaran atau status formal, dia mendaftarkan perusahaan untuk berpartisipasi dalam konvensi industri internet tahunan. Dengan mengunjungi mitranya dan meyakinkan berbagai divisi untuk mendonasikan dana, dia merekrut lebih dari 50 orang dari lusinan unit yang berbeda untuk mewakili perusahaan di konvensi.

Manajemen pun memperhatikannya. Dalam tahun yang sama dengan konferensi, tim eksekutif membentuk basis dari divisi internet pertama perusahaan, dan dia ditunjuk secara formal sebagai penanggung jawab. Untuk mencapai titik ini, eksekutif ini mengabaikan batasan konvensional, membangun, dan memelihara hubungan dengan orang-orang di setiap sisi perusahaan.

Apakah keterampilan sosial dianggap kemampuan kunci leadership di banyak perusahaan? Jawabannya ya, khususnya ketika dibandingkan dengan komponen kecerdasan emosional lain. Orang-orang secara intuitif mengetahui kalau leader harus mengelola hubungannya dengan efektif sebab tidak ada leader yang dapat berdiri sendiri. Pada akhirnya, tugas leader adalah menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain dan keterampilan sosial membuat hal ini dapat dilakukan. Leader yang tidak dapat menyatakan empatinya mungkin tidak memiliki rasa empati sama sekali. Juga, motivasi leader akan sia-sia jika dia tidak dapat menyampaikan minatnya pada perusahaan. Keterampilan sosial membuat leader dapat menjalankan kecerdasan emosionalnya untuk bekerja.

Akan terlihat bodoh untuk menyatakan IQ dan kemampuan teknis yang sudah sangat dikenal sebagai bahan yang tidak penting dalam leadership yang kuat. Namun, resepnya tidak akan lengkap tanpa kecerdasan emosional. Hal yang dahulu dianggap komponen kecerdasan emosional “baik untuk dimiliki” pada leader bisnis. Namun, sekarang kita mengetahui bahwa atas alasan kinerja, inilah bahan-bahan yang “harus dimiliki” para leader.

Untungnya, kecerdasan emosional dapat dipelajari, meski prosesnya tidak mudah. Dibutuhkan waktu, dan komitmen sebagai hal yang utama. Akan tetapi, manfaat yang didapatkan dari memiliki kecerdasan emosional yang dikembangkan dengan baik dapat membayar usahanya, baik untuk individu maupun perusahaan.

Sumber: HBR (Daniel Goleman, From the Magazine (Januari 2004))

Gita Djambek

Diruanghati.com is a co-blogging between my daughter, Aya and myself. This is where we share our thoughts about each other's thoughts as well as our individual thoughts. We hope readers can be entertained as well as gaining insights from us.

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *