“Ma, when your divorce is through, I think you should take a trip on your own to re-discover yourself. Things been hard on you since the process started, and I seriously think a trip on your own will definitely revitalize you mind and soul. Yai and I will not be mad at you because you deserve a break from us and the normal world.” Itu ucapan setengah maksa Aya ke saya tanggal 15 April 2019 lalu.
Ide ini emang sempat terfikir dalam benak saya terutama saat melalui proses perceraian yang terdiri dari 17 kali sidang yang melelahkan hati itu. Namun setiap pengen liburan ujungnya gak pernah kejadian karena saya gak bisa ngebayangin berlibur sendirian tanpa anak-anak. Meskipun anak-anak sudah terbiasa ditinggal tugas luar kota, pertanyaan will they be okay without me? selalu muncul di benak saya. Gimana ceritanya kalau saya berlibur tanpa mereka dan setiap hari wondering whether they are okay or not? On top of that, ada rasa bersalah yang menghantui setiap kali kepikiran liburan sendiri. Saya ngerasa jadi ibu yang selfish.
Setelah melalui proses kontemplasi sekian lama yang sebenarnya gak lama-lama amat, mungkin apa yang dikatakan Aya ada benarnya. Akhirnya saya putuskan untuk beli paket open trip ke Murmansk untuk liat Aurora Borealis. Kenapa ke Murmansk kalau pengen liat Aurora Borealis? Kenapa gak ke Iceland yang lebih terkenal dengan wisata Aurora Borealisnya ketimbang Murmansk? Gak tau kenapa, mungkin karena saya pengen ngomong Bahasa Russia, which was a rather absurd reason karena Bahasa yang satu ini adalah Bahasa yang sempat bikin saya menderita sakit kepala berkepanjangan. However, what better place to re-discover yourself than a place far far away seperti Murmansk kan?
When my divorce is through I finally took that one baby step to go on a holiday without the girls. Pertanyaan will they be okay without me pun berubah menjadi will I be okay without them karena semakin dekat ke hari keberangkatan, semakin saya parno ninggalin mereka sementara mereka biasa saja. Tanggal 17 Oktober yang lalu, saya bersama 8 orang perempuan luar biasa lainnya terbang ke Moscow sebelum melanjutkan perjalanan ke Murmansk.

There was nothing too special about Moscow selain indahnya Krasnaya Ploschad atau Red Square dengan Saint Basilica Cathedral yang bentuknya mirip masjid dengan kubah warna warni. Konon keindahan bangunan ini gak ada saingannya dalam kancah per-arsitekturan Russia. Gedung cathedral yang terinspirasi bentuk api unggun ini menjadi klimaks arsitektur Russia di abad ke-17. Then the question that came into my mind was, will the life I have now, being a single (again) working mom be the climax of my entire life? If it is, I intend to make it the most rewarding, beautiful and the longest ever climax in the history of all climaxes starting with enjoying my trip.
Sehari di Moscow, tanggal 19 Oktober rombongan berangkat ke Murmansk. Perjalanan Moscow – Murmansk memakan waktu sekitar dua setengah jam. Ketibaan kami di Murmansk disambut oleh Dima The Tour Guide dan salju yang mirip kapas turun dari langit. Murmansk adalah kota terakhir yang di dirikan dimasa kekaisaran Russia. Dulu Murmansk bernama Romanov Murmansk, in honour of the Romanov Dynasty. Setelah Revolusi Bolshevik di tahun 1917, kata Romanov dibuang seiring runtuhnya dynasty Romanov yang ditandai dengan musnahnya keluarga Tsar Nicholas II. Sejak itu kota yang ukurannya lumayan besar itu hanya bernama Murmansk.

Fakta sejarah kota Murmansk yang berubah nama setelah revolusi cukup menarik buat saya. Kuncinya adalah di kata revolusi yang menurut online dictionary artinya adalah a forcible overthrow of a government or social order in favour of a new system. Tahun 2004 saat saya memutuskan untuk menikah dengan bapaknya anak-anak, an ‘overthrow’ of a social order from the House of The Djambek untuk menjadi the House of My Ex-Husband’s Name terjadi. Berbeda dengan Murmansk, saat saya menikah saya tidak dengan serta merta memakai nama suami seperti kebanyakan perempuan Indonesia lainnya termasuk ibu saya sendiri. Kalau ditanya alasannya apa, saya bilang karena the sound of Gita Djambek is much better, another seemingly absurd reason but not absurd buat saya. How my name sounds penting buat ketenangan jiwa yang kadang dilanda OCD. Maka ketika terjadi revolusi kehidupan yang ke-dua saat saya meng-overthrow the House of My Ex-Husband’s Name menjadi the House of The Gita Djambek, saya gak perlu ganti nama seperti Murmansk. Gak penting sih but the essence of one’s name reflect the true identity of the person bearing the name. I am Gita Djambek, anaknya Pak Djambek, yang dibesarkan dengan mindset toleransi terhadap perbedaan, kemandirian, and betterment, dan belief bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang berguna untuk orang disekitarnya, cannot be Gita who bears the name of her ex-husband simply because I finally had given up the dream I once had to have a family where similarities and differences live side by side in the environment of mutual respect, honesty and openness. Jadi saya gak perlu merasa bersalah sudah memutuskan untuk hengkang dari pernikahan saya. Hence, my self-re-discovery and self-confirmation #1.
Setelah jalan-jalan sedikit ngeliat kota Murmansk, misi hunting Aurora Borealis pun dimulai. Dima The Tour Guide menjelaskan kalo Aurora itu ada yang Borealis ada juga yang Australis. Berhubung kita berada di utara bumi, makanya si Aurora Namanya Borealis. Kalau di selatan baru namanya Aurora Australis.
Untuk bisa nemuin Aurora dengan visibility yang lumayan bagus, si Dima ngajak kita ke dataran yang lebih tinggi di kota Murmansk. Dataran rendahnya saja real feelnya macam masuk freezer, apalagi dataran tinggi. Boots yang menurut brosurnya kuat nahan dingin sampe -20 ternyata gak kuat nahan dinginnya dataran tinggi di Murmansk yang meskipun thermometer menunjukkan suhu -5 C, real feelnya ternyata -10 C. Kalo nggak inget uang Rp. 27 juta dan cita-cita pengen liat Aurora, saya dan teman-teman satu rombongan mungkin akan maksa Dima untuk balik ke hotel.

Menurut Dima, hunting Aurora itu mirip banget dengan hunting cinta. Pertama di keker dulu siapa nih orangnya, trus di deketin, then give her or him a bit of magical efforts here and there, then voila… love blooms in the air. Masalahnya, kita gak bisa mastiin bentuk dan warna cahaya Aurora yang bakal keluar, just like we cannot guarantee the kind of love that will be born out of the efforts we made. Yang paling penting kan Auroranya ada, mau warnanya hijau, pink atau warna-warna lainnya ya dinikmati saja sebagaimana cinta pun sebaiknya dinikmati. Nah bedanya Aurora dengan cinta, Aurora butuh ledakan partikel-partikel plasma dari matahari yang bersinggungan dengan medan magnet bumi dan hanya dihasilkan karena kuasa Tuhan Yang Maha Esa, effort munculnya Aurora bukan pada manusia yang sedang berburu fenomena alam tersebut, sedangkan cinta itu butuh effort dari manusia si pemilik cinta untuk bisa terus bersemi karena cinta itu kata kerja, artinya ya perlu dikerjain bukan cuma diucapkan. Once the effort cuma sepihak atau berhenti, kelaut lah cinta itu pergi. I guess, itulah yang terjadi terhadap saya dan bapaknya anak-anak. Karena effort hanya sepihak sementara sabar ada batasnya, gak perlu juga merasa bersalah mengatakan Dasvidaniya Cinta! And this is my self-re-discovery and self-confirmation #2.
Salah satu lokasi yang kita kunjungi selama 3 hari di Murmansk adalah Teriberka. Teriberka adalah desa kecil kurang lebih 4 jam dari Murmansk yang sempat mengalami masa jaya antara tahun 1940 – 1960. Untuk ukuran desa di jamannya Teriberka sekelas dengan kota karena Teriberka dulu memiliki 2 buah fishing farms, 2 dairy farms, peternakan ayam, 2000 ekor rusa, tempat penangkaran American Mink yang bulunya bakal dibuat mantel dan topi khas Russia, tempat pengolahan ikan, fasilitas maintenance untuk kapal, berbagai toko dan lain sebagainya. Namun sejak tahun 1960an, Teriberka mengalami kemunduran sampai akhirnya desa tersebut lebih menyerupai desa mati dengan segelintir penduduk saja. Pantai yang dulunya indah sekarang diperindah dengan bangkai kapal yang penuh karat dan lumut. Bangkai kapal ini lah yang memberikan kesan antik buat Teriberka.

Dengan tampilan yang lumayan karatan, Teriberka memberikan kesan dingin dan tranquil – terlepas dari udaranya yang memang dingin gak kira-kira. Seandainya Teriberka bisa berbicara, mungkin dia akan bilang gini: “you’ve used me, exploited me, took the best part of me and when you think I am not as you thought I was supposed to be, you disrespect me.” Maka Teriberka jadi desa yang tetap tampak dan terasa dingin di musim panas sekalipun, menurut Dima. Sedangkan kesan tranquil yang dimiliki Teriberka sebenarnya efek sepi desa yang nyaris mati kalau bukan karena film berjudul Leviathan, film Russia yang menang 72nd Golden Globe Awards tahun 2014 untuk kategori Best Foreign Movie yang membuat Teriberka sekarang jadi salah satu tujuan wisata Murmansk Oblast. Dan Teriberka reminded me of my failed marriage, cold. Unlike Teriberka, my marriage wasn’t a tranquil one. Now that it’s over, I am opening a new chapter of my life with a few help from others, just like Teriberka when it opened its new chapter with a help of Leviathan. And so my self-re-discovery #3 was that receiving help from a few helping hands doesn’t mean that I am too weak to deal with my life on my own because at the end of the day I am just a human being who needs being.
Setelah 3 hari di Murmansk, saya bersama seorang teman berpisah dari rombongan untuk menuju Saint Petersburg. Saint Petersburg adalah kota terbesar di Russia setelah Moscow. Sebelum ibukota Russia dipindah sama para Bolsheviks ke Moscow, Saint Petersburg adalah ibukota kekaisaran Russia.

Meskipun Saint Petersburg hawanya rada metropolitan, keberadaan Winter Palace (sekarang jadi Museum Hermitage) dan gedung-gedung tua yang arsitekturnya bergaya baroque sisa kemegahan kekaisaran Russia masih terasa banget dan ini membuat Saint Petersburg terkesan lebih vibrant dan warm ketimbang Moscow. Inilah yang bikin saya jatuh cinta sama kota yang satu ini. If people said Paris is the City of Love, buat saya Saint Petersburg is the City of Love karena setiap saya menelusuri jalan dan taman kota, all I can see was couples expressing how they feel about each other. Romantic? Yes and I was truly happy to see what I saw. Ngiri? Kadang-kadang, but only because I wonder if there will be another love waiting for me somewhere out there. At the moment, the love I receive from my two girls, three Persian-mixed Kampung, Burmese and Maine Coon cats and a Pembroke Welsh Corgi enough to fill The House of The Gita Djambek with warmth and laughter.
Saint Petersburg mewakili berakhirnya liburan saya karena setibanya di Moscow untuk numpang lewat sebelum balik ke Jakarta, waktu saya bakal tersita sama kerjaan yang saya bawa-bawa selama liburan. And so… the journey of my self-re-discovery ended in my final self-re-discovery and confirmation bahwa I have done a good job being a mother, raising the girls to become self-reliant, responsible and independent girls. They were okay without me, as I was okay without them throughout my 10 days trip.